rss

Jumat, 01 Mei 2015

Potret Budaya Rakus Politik Indonesia

Virus korupsi-kolusi-nepotisme, saling sikut antar lembaga tinggi negara, skandal para anggota DPR adalah suatu fenomena yang kerap terjadi di dalam bangsa ini. Sungguh terlalu, sudah 70 tahun lalu para founding fathers bangsa mengerahkan seluruh tenaga, jiwa, waktu, bahkan nyawa sebagai taruhan dalam rangka mencapai kemerdekaan dan membangun persatuan bangsa ini. Berbagai macam cara ditempuh mulai dari cara diplomasi politik yang santun hingga mengangkat senjata mempertaruhkan nyawa. Bayangkan, mereka harus merelakan segalanya demi kemaslahatan bangsa ini bahkan sampai harus meninggalkan orang-orang tercinta di sekeliling mereka. Hak-hak rakyat, kepentingan bangsa, kedaulatan negara, mimpi untuk republik yang besar mereka perjuangkan.
Namun setelah hampir 70 tahun usia bangsa ini, kacau balau mengakibatkan kita tidah tahu ke arah mana bangsa ini akan dinavigasikan. Dalam sebuah artikelnya Buya Syafii mengatakan bahwa era reformasi ini seperti terangkat kemudian terhempaskan. Ibarat pohon tua yang fondasinya telah rapuh begitu dihempas angin besar langsung tumbang. Mirip sekali dengan bangsa ini. Apabila tren buruk ini terus dipelihara maka tak lama lagi bangsa Indonesia ini akan tumbang di tengah terpaan angin globalisasi yang begitu kuat.
Fenomena politik di negera ini sangat mengerikan. Politik sudah bukan lagi berbicara mengenai bagaimana untuk meraih tujuan kesajahteraan bangsa, sudah tidak berbicara lagi mengenai bagaimana cara agar rakyat bisa makmur, bagaimana rakyat Indonesia menerima keadilan. Justru sebaliknya, politik semata-mata tentang bagaimana duduk di kursi parlemen maupun kursi pemerintahan yang nyaman. Setelah berkuasa, para elite seakan diam seribu bahasa melihat rakyat Indonesia yang masih banyak yang sengsara.
Keserakahan para pemimpin bangsa dan wakil rakyat membuat bangsa ini semakin terpuruk. Menurut hemat penulis, biaya politik di negeri kita sangat mahal adalah pokok yang mahal. Bayangkan saja ketika mereka mencalonkan diri dan melakukan sebuah kampanye tidak tanggung tanggung para kandidat menggelontorkan dana yang amat besar. Tak sedikit kandidat yang mengeluarkan lebih dari Rp 2 Milyar. Menjadi rasional apabila kandidat berfikir bagaimana cara untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan tersebut. Akhirnya muncul niatan niatan untuk melakukan tindakan keji berupa korupsi.
Para pemimpin yang demikian tidak mementingkan rakyat lagi, rakyat sudah menjadi bagian dari komoditi mereka, rakyat ditipu kesana kemari, binggung akan kebijakan politik mereka. Tuan puan bisa bayangkan betapa mereka melakukan hal yang demikian seakan mereka sudah mulai lupa dengan rakyat, mereka justru lebih mementingkan kepentingan sempit partai dan individu. Tuan dan puan sekalian, tentu bisa melihat dimana kasus yang telah menimpa Ratu Atut selaku gubernur Banten yang melakukan tindakan korupsi, kemudian tentu tuan puan sekalian telah menyaksikan dimana partai Islam yang juga terjerat kasus korupsi, bahkan dana ibadah haji pun juga ikut dikorupsi. Penulis rasa tuan dan puan sudah mulai gerah, geram, mendengar berita berita yang demikian. Yang terbaru adalah perseteruan lembaga penegak hukum yang seharusnya sama sama ikut berperan aktif dalam membasmi budaya korupsi. Para pendiri bangsa mungkin saja akan menangis melihat nasib bangsa Indonesia yang berada di ambang kehancuran ini.
Seorang akademisi dan juga cendekiawan Islam Kuntowijoyo mencoba memberikan solusi lewat buku yang beliau tulis yakni Ilmu Sosial Profetik. Ada tiga hal pokok yang harus dimiliki oleh seorang yang akan terjun ke dunia politik menurut Kuntowijodo, yakni: pertama, misi humanisasi, bahwa seorang politikus harus menhargai hak-hak rakyat seperti hak mendapat kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Kedua, misi liberasi atau pembebasan. Pembebasan yang dimaksud oleh Kunto ialah pembesan dari seluruh aspek kehidupan rakyat dari segela bentuk kemiskinan dan keterjajahan. Ketiga, misi transedensi. Misi ini adalah misi spiritual yang menganjurkan bahwa setiap pemimpin/wakil rakyat harus memiliki nilai-nilai agama di dalam dirinya dan nilai-nilai itu menjadi pendorong baginya untuk berbuat kebaikan di lingkungannya. Rumusan ini penulis rasa dapat digunakan sebagai penawar dari permasalahan bangsa yang semakin rumit ini. Penulis yakin apabila lebih banyak politikus mendasari niat perjuangannya dengan niatan yang benar, insya liAllah akan lahir budaya politik adi luhung di tanah air ini—politik yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat, sebagai pengganti bukan budaya politik yang rakus saat ini. 

Tulisan ini pernah dimuat di dalam situs
Anak Panah Editorial

Banner Nge-Blog

0 komentar:


Posting Komentar

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Iklan


Masukkan Code ini K1-78D4D1-B
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Suported By

Guest book

Tukar Link



Copy kode di bawah masukan di blog anda, saya akan segera linkback kembali

Kolom blog tutorial

 

Pengikut

Ayo Bikin Pusing Pinguin!