Virus korupsi-kolusi-nepotisme, saling sikut antar lembaga tinggi
negara, skandal para anggota DPR adalah suatu fenomena yang kerap
terjadi di dalam bangsa ini. Sungguh terlalu, sudah 70 tahun lalu para founding fathers
bangsa mengerahkan seluruh tenaga, jiwa, waktu, bahkan nyawa sebagai
taruhan dalam rangka mencapai kemerdekaan dan membangun persatuan bangsa
ini. Berbagai macam cara ditempuh mulai dari cara diplomasi politik
yang santun hingga mengangkat senjata mempertaruhkan nyawa. Bayangkan,
mereka harus merelakan segalanya demi kemaslahatan bangsa ini bahkan
sampai harus meninggalkan orang-orang tercinta di sekeliling mereka.
Hak-hak rakyat, kepentingan bangsa, kedaulatan negara, mimpi untuk
republik yang besar mereka perjuangkan.
Namun setelah hampir 70 tahun usia bangsa ini, kacau balau
mengakibatkan kita tidah tahu ke arah mana bangsa ini akan
dinavigasikan. Dalam sebuah artikelnya Buya Syafii mengatakan bahwa era
reformasi ini seperti terangkat kemudian terhempaskan. Ibarat pohon tua
yang fondasinya telah rapuh begitu dihempas angin besar langsung
tumbang. Mirip sekali dengan bangsa ini. Apabila tren buruk ini terus
dipelihara maka tak lama lagi bangsa Indonesia ini akan tumbang di
tengah terpaan angin globalisasi yang begitu kuat.
Fenomena politik di negera ini sangat mengerikan. Politik sudah bukan
lagi berbicara mengenai bagaimana untuk meraih tujuan kesajahteraan
bangsa, sudah tidak berbicara lagi mengenai bagaimana cara agar rakyat
bisa makmur, bagaimana rakyat Indonesia menerima keadilan. Justru
sebaliknya, politik semata-mata tentang bagaimana duduk di kursi
parlemen maupun kursi pemerintahan yang nyaman. Setelah berkuasa, para
elite seakan diam seribu bahasa melihat rakyat Indonesia yang masih
banyak yang sengsara.
Keserakahan para pemimpin bangsa dan wakil rakyat membuat bangsa ini
semakin terpuruk. Menurut hemat penulis, biaya politik di negeri kita
sangat mahal adalah pokok yang mahal. Bayangkan saja ketika mereka
mencalonkan diri dan melakukan sebuah kampanye tidak tanggung tanggung
para kandidat menggelontorkan dana yang amat besar. Tak sedikit kandidat
yang mengeluarkan lebih dari Rp 2 Milyar. Menjadi rasional apabila
kandidat berfikir bagaimana cara untuk mengembalikan modal politik yang
telah dikeluarkan tersebut. Akhirnya muncul niatan niatan untuk
melakukan tindakan keji berupa korupsi.
Para pemimpin yang demikian tidak mementingkan rakyat lagi, rakyat
sudah menjadi bagian dari komoditi mereka, rakyat ditipu kesana kemari,
binggung akan kebijakan politik mereka. Tuan puan bisa bayangkan betapa
mereka melakukan hal yang demikian seakan mereka sudah mulai lupa dengan
rakyat, mereka justru lebih mementingkan kepentingan sempit partai dan
individu. Tuan dan puan sekalian, tentu bisa melihat dimana kasus yang
telah menimpa Ratu Atut selaku gubernur Banten yang melakukan tindakan
korupsi, kemudian tentu tuan puan sekalian telah menyaksikan dimana
partai Islam yang juga terjerat kasus korupsi, bahkan dana ibadah haji
pun juga ikut dikorupsi. Penulis rasa tuan dan puan sudah mulai gerah,
geram, mendengar berita berita yang demikian. Yang terbaru adalah
perseteruan lembaga penegak hukum yang seharusnya sama sama ikut
berperan aktif dalam membasmi budaya korupsi. Para pendiri bangsa
mungkin saja akan menangis melihat nasib bangsa Indonesia yang berada di
ambang kehancuran ini.
Seorang akademisi dan juga cendekiawan Islam Kuntowijoyo mencoba
memberikan solusi lewat buku yang beliau tulis yakni Ilmu Sosial
Profetik. Ada tiga hal pokok yang harus dimiliki oleh seorang yang akan
terjun ke dunia politik menurut Kuntowijodo, yakni: pertama,
misi humanisasi, bahwa seorang politikus harus menhargai hak-hak rakyat
seperti hak mendapat kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Kedua,
misi liberasi atau pembebasan. Pembebasan yang dimaksud oleh Kunto
ialah pembesan dari seluruh aspek kehidupan rakyat dari segela bentuk
kemiskinan dan keterjajahan. Ketiga, misi transedensi. Misi ini adalah
misi spiritual yang menganjurkan bahwa setiap pemimpin/wakil rakyat
harus memiliki nilai-nilai agama di dalam dirinya dan nilai-nilai itu
menjadi pendorong baginya untuk berbuat kebaikan di lingkungannya.
Rumusan ini penulis rasa dapat digunakan sebagai penawar dari
permasalahan bangsa yang semakin rumit ini. Penulis yakin apabila lebih
banyak politikus mendasari niat perjuangannya dengan niatan yang benar,
insya liAllah akan lahir budaya politik adi luhung di tanah air
ini—politik yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat, sebagai
pengganti bukan budaya politik yang rakus saat ini.
Tulisan ini pernah dimuat di dalam situs
Anak Panah Editorial
0 komentar:
Posting Komentar